search
for
 About Bioline  All Journals  Testimonials  Membership  News


Oseanologie dan Limnologie di Indonesia
LIPI, Indonesia

Num. 29, 1996, pp. 15-28

Oseanologi dan limnologi di Indonesia 1996 No. 29: 15 - 28

ISSN 0125 - 9830

MIKROALGA BERBAHAYA DI PERAIRAN INDONESIA

oleh

NGURAH N.WIADNYANA

Balitbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Poka Ambon 97233

Code Number:LI96002
Sizes of Files:
      Text: 31K
      Graphics: Line drawings (gif) - 68K
                        Photographs (jpg) - 48K

ABSTRAK

Kelompok raikroalga berbahaya yang merupakan fitoplankton mikroskopik terdiri dan tiga kelompok yaitu "anoxious", beracun dan perusak alat pernafasan. Kelompok beracun dapat termakan oleh biota laut (ikan dan Avertebrata) dan selanjutnya berdampak negatif terhadap kesehatan manusia yang memakannya. Dua kelompok lainnya dapat membahayakan kehidupan biota laut akibat kekurangan oksigen terlarut dan tersumbatnya alat pernapasan. Kerugian pada sektor ekonomi seperti perikanan, gangguan kesehatan serxa korban jiwa pada manusia yang ditimbulkan oleh mikroalga berbahaya terjadi hampir di seluruh belahan bumi, termasuk di Indonesia. Meskipun di Indonesia, kejadian demikian yang tercatat masih sedikit, namun pengembangan penelitian tentang mikroalga berbahaya yang telah dilakukan perlu terus ditingkatkan, karena peluang terjadinya ledakan populasi di perairan Indonesia semakin tinggi.

HARMFUL MICROALGAE OF THE INDONESIAN WATERS. Harmful microalgae belongs to microscopic plants and consists of three groups, i.e. anoxious species, toxic species and species that destroy the respiratory system. Toxic species may be eaten by marine animals (fishes and invertebrates), and the latter may affects human health when consumed. The two other groups when present in a very high density, can kill marine animals through oxygen depletion and by damaging or clogging the gills. Severe losses in economic sector such as fisheries, human health and death, occurred in almost all over the world, including Indonesia. Although in Indonesia recorded incidents are relatively few, the development of research on harmful microalgae should be continuously encouraged, in view of the increasing possibility of red tide occurrence in Indonesian waters.

PENDAHULUAN

Seperti diketahui, peranan plankton sangat vital di dalarn ekosistem perairan sebagai dasar dari kehidupan. Beraneka ragam organisme mikroskopik nabati yang merupakan bagian terbesar dari organisme planktonik, mampu menghasilkan bahan-bahan organik. Melalui rantai makanan bahan-bahan

organik dapat mencapai organisme konsumen daft tingkatan trofflc yang lebih tinggi (ikan). Konsekuensinya, mum dan banyaknya organisme konsumen dapat dipengaruhi secara Iangsung oleh plankton. NYBAKKEN (1992) menyebutkan bahwa daerah perikanan tangkap potensiaI terdapat di perairan yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi seperti di daerah upwelling. Namun kesuburan plankton yang berlebihan akibat adanya pengkayaan unsur-unsur hara dapat menimbulkan kematian masal pada biota laut (SHUMWAY 1990; ADNAN 1993). Adanya mikroalga beracun yang muncul di dalam perairan dapat membahayakan kehidupan organisme konsumen seperti ikan dan Avertebrata, bahkan sampai pada manusia yang kebetulan memakan produk laut yang mengandung racun yang berasal dari mikroalga. Berbagai kasus kematian pada biota laut, keracunan, dan kematian pada manusia telah terjadi di beberapa negara seperti yang dipaparkan oleh SHUMWAY (1990) dan di beberapa tempat di Indonesia (ADNAN 1993). Secara menyeluruh di wilayah Asia-Pasifik sampai pertengahan tahun 1994 tercatat sekitar 3.164 korban keracunan dan 148 korban meninggal (CORALLES & MACLEAN 1995).

Pentingnya dampak yang ditimbulkan oleh mikroalga beracun terhadap kesehatan masyarakat Indonesia menyebabkan terjadinya peningkatan penelitian tentang masalah ini. Berbagai temuan spesies mikroalga berbahaya telah dilaporkan di beberapa tempat di Kawasan Timur Indonesia (WIADNYANA et al. 1994; WIADNYANA et al. 1995; SIDABUTAR et al. 1995), sementara penelitian terus berIanjut. Dengan maksud untuk memahami dan menginformasikan seluas-luasnya fenomena mikroalga beracun, tulisan ini disusun dengan menggabungkan hasil-basil penelitian terbaru.

JENIS MIKROALGA BERBAHAYA

Spesies fitoplankton dapat berbahaya dan merusak ekosistem perairan dalam kondisi sangat berlimpah dan menghasilkan racun. HALLEGRAEFF (1993) menguraikan tipe-tipe jenis berbahaya menjadi tiga bagian (Tabel 1 )

Spesies dari tipe yang dapat membahayakan biota laut, akibat terjadinya penurunan oksigen terlarut atau disebut spesies "anoxious". Daft kelompok ini yang sering ditemukan di Indonesia adalah Trichadesmium erythraeum, saIah satu spesies dari Cyanobacterium. (Gambar IA). Cyanobacterium ini sewaktuwakm dapat melimpah di perairan karena kondisi unsur hara yang berlebihan dan dapat mengikat unsur nitrogen secara langsung dari udara. Contoh kasus kematian ikan masal terjadi di tambak udang di Lampung (ADNAN 1993).

Tabel 1(a); Tabel 1 (b): Kelompok, sifat dan jenis mikroalga berbahaya

Di Teluk Kao spesies ini sering mendominasi perairan (WIADNYANA et al. 1994). Kepadatan tertinggi yang tercatat dapat mencapai nilai sebesar 3,9 ribu sel/l (90 % dan jumlah total fitoplankton). Kelimpahan ini nampaknya belum dikatakan membahayakan kehidupan biota laut seperti ditunjukkan dengan tidak adanya laporan kematian masal pada ikan yang diakibatkan oleh spesies fitoplankton ini. Selain itu, juga ditemukan satu spesies dari Dinoflagellata, Noctiluca scintillans, yang berwama hijau (Gambar lB). Dinoflagellata ini mempunyai ukuran relatif besar (150 - 2000 p.m) dan pada saat populasinya cukup padat dapat merubah wama perairan menjadi kehijauan.

Fitoplankton yang dapat menghasilkan racun pada umumnya berasal dari kelompok Dinoflagellata. Di perairan Indonesia ban2. tercatat beberapa spesies beracun, di antaranya, Pyrodinium bahamense var. compressum {Gambar I C bentuk sel vegetatifdan Gainbar IG untuk benink kista (cyst)} dan Prorocentrurn lima (Gainbar ID). Di samping itu ditemukan juga Alexandrium sp. dan Ostreopsis sp. (Gainbar IE dan IF), namun belum diketahui apakah spesiesspesies ini merupakan Dinoflagellata beracun.

Kasus kematian masal pada ikan dan Avertebrata yang disebabkan oleh jenis fitoplankton perusak dan penyumbat sistern pemafasan (rusaknya insang) sampai saat ini belum ditemukan di perairan Indonesia. Spesies-spesies dari Chaetoceros yang ditemukan di beberapa 1okasi masih dalam juralab yang wajar.

    Gambar 1. Jenis mikroalga berbahaya yang ditemukan di beberapa 1okasi di perairan Indonesia:A-Trichodesmium erythraeum, B-Noctiluca scintillans (ripe berwarna hijau), C-Pyrodinium baharnense var. compressum, D-Prorocentrum lima, E-Ostreopsis sp., F-Alexandrium sp., G-Kista("Cyst") P. baharnense vat. compressum.

Spesies-spesies dari kelompok penyumbat sistem pernafasan dapat membahayakan kehidupan biota laut pada konsentrasi yang sangat padat, sehingga menimbulkan "red tide". Sebagai contoh dampak negatif yang pemah terjadi yaitu akuakultur di Sero, Jepang, pada tahun 1972 yang mengalami kerugian mencapai lebih dari satu triliun mpiah akibat ledakan populasi Charonella antiqua (OKAICHI 1989).

KASUS - KASUS KERACUNAN

Kasus-kasus yang paling banyak tercatat adalah yang disebut 'paralytic shellfish poisoning' (PSP) (Tabel 1) dan telah tercatat di hampit seluruh belahan bumi (Gambar 2). Kematian masal pada berbagai jenis kerang budidaya merupakan kasus yang paling banyak tercatat, umumnya disebabkan oleh spesies-spesies dari ordo Dinophysiales. Gangguan kesehatan dan korban kematian pada manusia sering ditimbulkan oleh spesies-spesies dari marga Gonyaulax, Alexandrium dan Pyrodinium. SHUMWAY (1990) menyebutkan bahwa Dinoflagellata beracun, Pyrodinium, merupakan penyebab terbesar korban pada manusia, seperti yang terjadi di Guatemala (26 orang meninggal dan sekitar 185 orang di rawat di rumah sakit). Sebelum itu kasus besar lain teIah terjadi di Filipina, dimana 21 orang meninggal dan sekitar 278 orang di rawat di rumah sakit. Setelah di determinasi secara lebih rinci, penyebabnya adalah Pyrodinium bahamense var. compressum.

Di Indonesia, kasus serupa telah terjadi misalnya di Teluk Kao dan di Teluk Ambon. Di desa Latta terjadi keracunan yang membawa korban 33 orang masuk rumah sakit dan delapan anak kecil meninggaI. Gainbar 3 memperlihatkan daerah-daerah yang mengalami kerugian ekonomi akibat kematian masal ikan dan keracunan PSP.

HALLEGRAEFF (1993) menguraikan gejala klinis keracunan (Tabel 2), yang pada dasamya terbagi menjadi dua bagjan yaitu racun yang menyerang sistem syaraf dan racun yang menyerang pencernaan.

Tingkatan peparahan korban akibat mikroalga bergantung pada kekuatan racun yang terkandung pada biota yang termakan. Tinggi rendahnya racun pada biota laut tergantung pada keIimpahan dan waktu terjadinya ledakan populasi mikroaIga beracun di perairan. Pada kasus ledakan populasi P. bahamense var compressum di Teluk manila, BAJARIAS (1994) menjelaskan bahwa racun yang ditemukan pada kerang hijau (Perna viridis) mencapai kadar yang sangat tinggi (lebih dari 1000 g/100 g daging kerang) ketika kelimpahan Pvrodinium mencapai sepuluh ribu sampai satu juta sel per liter air laut. Pada kondisi ini kerang tersebut sangat berbahaya untuk dikonsumsi sebagai makanan, sementara kadar racun yang tidak membahayakan adalah kurang dari 80 g/100 g daging kerang (PASTOR et al. 1989) atau setara dengan konsentrasi Dinoflagellata di perairan sekitar seribu sel/I (BAJARIAS 1994). Selanjutnya dijelaskan bahwa kadar racun pada kerang hijau masih cukup tinggi, meskipun Pyrodinium sudah tidak ditemukan dalam lapisan air. Temuan ini memberikan peringatan bahwa kerang-kerangan ataupun tiram dari perairart terkontaminasi Dinoflagellata beracun Pvrodinium tidak boleh dikonsumsi selama beberapa waktu (2 - 3 bulan) setelah terjadi peristiwa ledakan populasi.

    Gambar 2. Peta sebaran tempat-tempat di seluruh dunia yang mengalami musibah paralytic shellfish poisoning (PSP) dan munculnya mikroalga berbahaya. Sumbet: SHUMWAY (1990).

    Gambar 3. Peta sebaran tempat-tempat di Indonesia yang mengalami musibah paralytic shell fish poisoning (PSP) dan munculnya mikroalga berbahaya.

Tabel 2(a); Table 2(b): Gejala klinis dari beberapa tipe keracunan

ANCAMAN JENIS PYRODINIUM BERACUN

P. bahamense var compressum mempunyai sebaran luas di perairan Pasifik Barat. Di perairan Indonesia, spesies ini dijumpai di beberapa tempat seperti Teluk Kao, Teluk Ambon, Teluk Piru, Teluk Elpaputih, perairan Saparua, perairan Sorong, sekitar Biak dan Teluk Cenderawasih (Gambar 4), selain di Teluk Jakarta dan perairan Bangka (Djoko P. Praseno, komunikasi pribadi). Saat kemunculannya di Teluk Kao pada Maret 1994, spesies ini mencapai 0.8 - 2.3 jura sel/liter, menyebabkan perubahan warna perairan menjadi merah kecoklatan (WIADNYANA et al. 1994). Di Teluk Ambon, kepadatan Pyrodinium tercatat 0.4 - 1.6 ribu sel/l pada Juli 1994. Di perairan Seram dan Irian Jaya, kepadatan Pyrodinium relatif rendah dan belum ada laporan tentang kasus-kasus keracunan. Sementara di Saparua, Pyrodinium ditemukan pada periode Juni - Juli 1994 di perairan sekitar Teluk Tuhaha, Desa Noloth, Desa Pia dan Desa lhamahu dengan kepadatan berkisar antara 6 - 95 sel/liter (Ir. S. Haumahu, komunikasi pribadi).

Di Filipina dan tempat-tempat lainnya, kemunculan Pyrodinium sering ditemukan di perairan sekitar hutan mangrove. Sampai saat ini, belum diketahui secara jelas hubungan antara mangrove dan keberadaan Pyrodinium di perairan. Beberapa pakar menyebutkan faktor-faktor yang dapat memicu ledakan populasi jenis mikroalga berbahaya adalah karena adanya pengayaan unsur-unsur hara atau eutrofikasi (HOLLIGAN 1985); berkurangnya pemakanan oleh herbivora (LINDAHL 1983); perubahan hidrometeorologi dalam skala besar (HOLLIGAN 1985); adanya upwelling yang mengangkat masa air kaya unsur-unsur hara (TANGEN 1983); dan adanya hujan lebat dan masuknya air tawar ke laut dalam jumlah yang besar (EDLER et al. 1982; CEMBELLA et al. 1988). Dalam kaitannya dengan ledakan populasi Pyrodinium, selain dipengaruhi oleh faktorfaktor tersebut, diperkirakan masih ada faktor-faktor lain yang sampai saat ini perlu dikaji secara terus menerus. Hal ini dikemukakan oleh karena meskipun penyebaran spesies ini terjadi di beberapa tempat (Gambar 4), tetapi hanya di Teluk Kao yang menimbulkan red tide. Dugaan sementara, kondisi air yang tenang (arus laut lemah dan perairan tidak bergelombang) cenderung mempercepat perkembangan populasi. Faktor yang paling penting adalah keberadaan marga tersebut di perairan, terutama dalam benink kista di dasar perairan (Gambar 1 G). Naiknya kista dari dasar perairan ke lapisan permukaan memerlukan mekanisme-mekanisme yang menyebabkan naiknya masa air dari dasar ke lapisan permukaan.

    Gambar 4. Peta sebaran Pyrodinium bahamense var. compressum di Kawasan Timur Indonesia.

PENGEMBANGAN STUDI MIKROALGA BERBAHAYA

Seperti diuraikan di aras, mikroalga berbahaya telah menimbulkan dampak negatif yang cukup besar bagi biota laut, kesehatan manusia dan perikanan. Kerugian ekonomi dan korban manusia yang terjadi di Indonesia tampaknya relatif cukup rendah bila dibandingkan dengan di negara-negara lain. Tetapi ini tidak berarti studi mikroalga berbahaya tidak perlu dikembangkan.

Adanya perubahan-perubahan secara global, baik yang menyangkut perubahan iklim, pengkayaan zat hara di perairan pesisir, maupun peningkatan hubungan perdaganngan yang mengakibatkan meningkatnya keluar dan masuknya kapal-kapal niaga daft dan ke wilayah Indonesia, maka dampak yang dapat ditimbulkan daft aktivitas ini adalah meningkamya peluang meluasnya penyebaran spesies-spesies mikroalga berbahaya dari satu perairan ke perairan lainnya. HALLEGRAEFF (1993) mengemukakan meluasnya sebaran Dinoflagellata dapat disebabkan oleh transportasi kista yang terbawa oleh kapal dalam air balas (ballast water ). Melalui mekanisme ini perairan yang pada awalnya bebas dari mikroalga beracun dapat terkontaminasi dan berlangsung secara terus menerus dari sam tempat ke tempat lainnya. Semakin tingginya bahan detergen, buangan limbah organik dan anorganik lainnya yang masuk ke perairan dapat berdampak penyuburan perairan yang berlebihan. Semua ini merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan dan terjadinya ledakan populasi mikroalga berbahaya di perairan Indonesia. Meskipun demikian, permasalahan yang paling penting yang sejauh ini masih belum diketahui adalah cara unmk meramalkan terjadinya ledakan populasi mikroalga berbahaya. Berdasarkan pada informasi tersebut, pengembangan smdi mikroalga berbahaya perlu mendapat perhatian dan terus dikembangkan.

DAFTAR REFERENS

ADNAN, Q. 1993. PSP and red tide status in Indonesia. In: Toxic Phytoplankton Blooms in the Sea ( T.J. Maeda. and Y. Shimizu, Eds.). Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam: 199-202.

BAJARIAS. FE F. A 1994. Survey of paralytic shellfish poison (PSP) in green mussels (Pema viridis) in Manila Bay, Philippines. Paper presented in the Third_International Scientific symposium. IOC-UNESCO - WESTPAC, Bali - Indonesia, 22 - 26 November 1994.

CEMBELLA, A.D.; J. TURGEON; J.C. THERRIAULT and P. BELAND 1988. Spatial distribution of Protogonyaulax tamarensis resting cysts in nearshore sediments along the north coast of the lower St. Lawrence estuary. J. Shell. Res:, 7: 597-609.

CORRALES, R.A. and J.L. MACLEAN 1995. Impacts of harmful, algae on seafarming in the Asia Pacific areas. J.Applied Phycology.7: 151-162.

EDLER, L.; G. AERTEBJERG and E. GRANELI 1982. Exceptional plankton blooms in the entrance to the Baltic Sea - the Kattegat and Belt Sea area. ICESL 20:1-6

HELLEGRAEFF, G.M. 1993. A review-of harmful algal blooms and their apparent global increase. Phycologia 32:79-99.

HOLLIGAN. R M. 1985. Marine dinoflagellate blooms - growth strategies and environmental exploitation. In.'Toxic Dinoflagellates' (D.M.Anderson; A.W. White and D.G. Baden. Eds.). Elsevier, New York, USA.: 133-139.

LINDAHL, O. 1983. On the development of Gyrodinium aurelium occurrence on the Swedish West coast. Mar. Biol. 77: 143-150.

NYBAKKEN, J.W. 1992. Biologi Laut: Suatu pendekalan ekalogis. Gramedia. Jakarta: 459 hal.

OKAICHI. T. 1989. Red tide problems in the Seto Island, Japan. In: Red Tides: Biology, Environmental Science and Technology (T. Okaichi; D.M. Anderson and T. Nemoto. Eds.). Elsevier Science Publishing Co.. New York: 137-142.

PASTOR. N.I.S.; I. GOPEZ; M.A.C. QUIZON; N. BAUTISTA; M. WHITE and DAYRIT 1989. Epidemic of paralytic shellfish poisoning in tbe Philippines, 1988-1989. In: Biology, EpidemioIogy and Management of Pvrodinium Red Tides (G. M. Hallegraeff and J.L. Maclean. Eds.). ICLARM Conference Proceeding 21. Fisheries Department. Ministry of Development. Brunei Darussalam and International Centre for Living Resources Management. Manila. Philippines: 165-171.

SHUMWAY, S.E. 1990. A review of the effects of algal blooms on shellfish aquaculture J. World Aquacul. Soc. 21: 65-103.

SIDABUTAR. T.; N.N. WIADNYANA dan S.A. YUSUF 1995. Spesies "red tide" di perairan Kawasan Timur Indonesia. Kertas Kerja disajikan dalam bentuk poster pada Seminar Peringatan-Lustrum VIII Fakultas Biologi UGM - Yogyakarta. 18 - 20 September 1995. hal. 12.

TANGEN, K. 1983. Shellfish poisoning and the occurrence of potentially toxic dinoflagellates in Norwegian waters. Sarsia: 1-7.

WIADNYANA, N.N.; A. SEDIADI; T. SIDABUTAR and S.A. YUSUF 1994. Bloom of the dinoflagellate, Pyrodinium bahamense vat corapressure in Kao Bay, North Moluccas. Paper presented in IOC-WESTPAC Symposium, Bali, 22 - 26.November 1994.

WIADNYANA, N.N.; T. SIDABUTAR; K. MATSUOKA; T. OCHI; M. KODAMA and Y. FUKUYO. 1995. Note on the occurrence of Pyrodinium in eastern Indonesian waters. Paper for 7th International Conference on Toxic Phytoplankton, Sendai Jepang, 12 - 16 Juli 1995c 16 pp.

Published by LIPI, Jakarta, Indonesia.


The following images related to this document are available:

Photo images

[li96002a.jpg]

Line drawing images

[li96002h.gif] [li96002g.gif] [li96002f.gif] [li96002c.gif] [li96002d.gif] [li96002b.gif] [li96002e.gif]
Home Faq Resources Email Bioline
© Bioline International, 1989 - 2024, Site last up-dated on 01-Sep-2022.
Site created and maintained by the Reference Center on Environmental Information, CRIA, Brazil
System hosted by the Google Cloud Platform, GCP, Brazil